Cerpen
MAKNA HIDUP
(Oleh : Nurlely Qomariyati)
“Siapakah kamu?” tanyaku terkejut dan marah. “Aku tahu kamu bisa melihatku.” Suaranya lembut terdengar.
“Apa maksudmu? Aku tidak buta!” suaraku meninggi. Aku tahu hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat hantu. Hantu? Aku tidak percaya mendengar ucapannya. Aku bisa melihat hantu? Pikir dalam benakku.
“Tidak percaya?” katanya sambil tersenyum manis. “Namaku Kirana Suprapto. Dulu ini adalah kamarku.” Jelasnya.
“Suprapto? Itukan nama keluarga ayah.” Pikirku. “Ayah pernah bercerita sedikit tentang Kirana kepadaku. Kau….. Adik ayah?” gadis itu mengangguk.
“Kau benar Adam.”
“Hei kau tahu namaku?”
“Tentu saja. Aku tahu hampir semua tentang dirimu.” Pandangan Kirana tertuju dengan buku yang ku bawa. Sebuah buku Hemingway.
“Kamu suka karyanya? “ tanyaku.
“Ya, waktu aku masih hidup aku suka membacanya.”
Aku tersenyum, ternyata kita punya selera yang sama.
“Kenapa kau meninggal?” tanyaku padanya.
Kirana tampak sedih kemudian tersenyum.
“Aku menderita penyakit sama sepertimu, Asma.”
“Apa kamu piker dokter yang akan menentukan hidup dan matiku?” Kirana tampak marah. “Kamu masih punya kemungkinan untuk hidup
selama tuhan mengizinkan. Mungkin seratus atau seribu tahun lagi.” Kata Kirana.
Sudah tiga bulan kami sekeluarga pindah ke sini. Sebuah desa di pedalaman pulau Jawa. Ayahku seorang Dokter. Ia dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Karena itulah ayah bersedia dipindahkan. Katanya ingin mengabdi pada tanah kelahiran. Kami menempati rumah kakek yang sudah meninggal dua tahun lalu.
Aku orangnya susah untuk beradaptasi. Aku bahkan belum mengenal semua teman kelasku. Aku lebih suka menyendiri. Aku menderita Asma sejak kecil. Dokter yang berusaha menyembuhkanku, termasuk ayahku sendiri. Aku tahu hidupku tak lama lagi. Sudah tiga hari aku tidak masuk sekolah. Aku merasa kesepian. Ayah sedang bekerja dan ibu sedang belanja. Sudah dua hari ibu tidakk belanja karena merawatku.
Tiba-tiba aku puny aide. Bosan terus menerus berada di kamar tidur. Mengapa tidak mencoba ke lantai atas? Padahal rumah ini terdiri dari dua lantai. Tapi sebenarnya ayah pernah melarangku untuk naik ke lantai atas karena itu sangat berbahaya.
“Aku kan anak laki-laki, apalagi usiaku sudah sudah tiga belas tahun.” Pikirku.
“Wah!!!” Aku terkejut saat berada di atas. Di satu sudutnya terdapat satu kamar tidur dan juga sebuah rak yang berisi buku. Buku adaalaah satu-satunya temaanku sejak kecil.
Saat aku mulai membuka buku-buku itu, tiba-tiba seorang gadis perempuan menghampiriku. Tampaknya ia sebaya denganku.
“ Kau anak yang pintar Adam. Tapi buat apa pintar jika tidak kau gunakan, hidupmu tidak akan berarti.”
Tiba-tiba sajaa aku meras begitu bodoh. Kirana telah menyadarkanku., kurasa ada kekuatan baru yang masuk dalam diriku. Aku terdiam. Dalam hati aku membenarkan kata-katanya.
“Apa cita-citamu?” Tanyanya kemudian.
Aku menghelah nafas dan menjawab “Aku tidak punya cita-cita< karena tidak punya waktu untuk mencapainya. Aku hanya bisa berbaring di tempat tidur sambil menunggu ajalku tiba.”
“Ada perasaan takut dalam hidupmu?”
“Ya, kesalahan terbesar dalam hidupku dan hidupmu. Aku dulu juga takut punya cita-cita, tapi kubenranikan. Dengan memiliki cita-cita kamu akan merasa hidupmu lebih berarti. Meski hidupmu tak akan lama lagi.”
“Adam.” Terdengar ayah dan ibu memanggilku. Ku lihat Kirana, dari matanya aku tahu dia menyuruhku untuk turun.
“Apa kita bisa bertemu lagi?”
Kirana mengheleng. Aku merasa sedih.
“Kau pasti akan punya temenyang baik Dam, bukan hantu sepertiku.” Jelas Kirana.
Ketika hampir tiba di tangga, aku berbalik kemudian Kirana perlahan-lahan menghilang. Kulambaikan tanganku kepadanya. Aku bergegas menuruni tangga. Ku lihat ayah bersiap-siap memarahiku. Namun berubah pikiran saat aku berkata “ Ayah, Ibu, aku ingin jadi penulis terkenal seperti Hemingway. Aku ingin menulis kisah hidupku sendiri.” Ayah dan ibu terkejut ketika mendengar ucapanku. Ayah memelukku dan berkata “Adam, ayah selalu mendukungmu.” Kami bertiga tertawa bersama.
“Apa yang membuatmu berubah?” Tanya ayah.
Aku tersenyum kecil. “Rahasia!”
Ayah mengacak-acak rambutku kemudian kembali tertawa. Entah kenapa, kurasa dia sudah tahu jawabannya. Terimahkasih Kirana, kau telah membuatku sadar tentang makna hidup yang sebenarnya.
Bukan berapaa lama kau hidup, tetapi apa yang kau berikan di dalam hidupmu.
No comments:
Post a Comment